Dewanya Agama Hindu

Dewanya Agama Hindu

UPACARA NGABEN DALAM AGAMA HINDU

Admin kesrasetda | 29 Maret 2021 | 425320 kali

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah umat HIndu di Bali.Upacara ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya.Ngaben dalam bahasaBali berkonotasi halus yang sering disebut palebon.Palebon berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah.Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu).Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).

Tujuan upacara ngaben

Tujuan dari upacara ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke asalnya,yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam pitra.landasan filosofis ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya.Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta. Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya ( lontar yama purwana tattwa).Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas.

Pelaksanaan ritual upacara ngaben / Pitra Yadnya

Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa =  terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.

Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:

1.    A = kekuatan pada Ati Putih

2.    Na = kekuatan pada Nabi (pusar)

3.    Ca = cekoking gulu (ujung leher)

4.    Ra = tulang dada (tulang keris)

5.    Ka = pangrengan (telinga)

7.    Ta = netra (mata)

8.    Sa = sebuku-buku (sendi)

9.    Wa = ulu hati  (Madya)

10. La = lambe (bibir)

11. Ma = cangkem (mulut)

12. Ga = gigir (punggung)

13. Ba = bahu (pangkal leher)

14. Nga = irung (hidung

16. Ja = jejaringan (penutup usus)

17. Ya = ampru (empedu)

18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.

1.    Upakara Munggah di Kemulan

Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.

2.    Upakara Munggah di Surya

Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian

3.    Upakara disamping jenasah

Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).

4.    Upakara Pepegatan

Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.

5.    Upakara Pengiriman

Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.

6.    Upakara Pengentas Bambang

Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.

7.    Upakara di Sanggah Cucuk

Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

UPACARA PENGABENAN NGEWANGUN

Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.  (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan  adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA

Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

1.    Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran

2.    Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya

3.    Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)

5.    Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka

6.    Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.

7.    Naga (lobang lambung)  pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu

8.    Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.

9.    Apana (pantat  kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.

Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

1.    Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah

2.    Kusa Pranawa :  dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.

3.    Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.

4.    Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya  memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.

5.    Sapta Pranawa. Upacara ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb.  juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil  karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak  menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah  dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:

1.    Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.

2.    Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.

3.    Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.

4.    Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis pengabenan ngelanus yaitu:

a.    Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.

b.    Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

3 Dewa Tertinggi Agama Hindu

JAKARTA, celebrities.id Dewa dewi dalam agama Hindu beserta tugasnya bersifat esa dan berperan sebagai sosok penguasa mutlak nan kekal.Namun, dewa dewi tersebut juga mewujud sesuai tugasnya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam.

Mengutip dari berbagai sumber, Selasa (22/2/2022), berikut ini dewa dewi dalam agama Hindu yang paling populer dan juga tugas-tugas yang mereka emban.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang pertama adalah Brahma. Dewa Brahma adalah bagian pertama dari Tritunggal yang bertugas sebagai pencipta semesta.

Dalam mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir bukan dari rahim seorang ibu melainkan dari sebuah bunga teratai.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang ke-dua adalah Wisnu. Seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu adalah bagian dari Tritunggal yang tugasnya mempertahankan keharmonisan alam semesta. Nantinya, tugas Dewa Wisnu akan dilanjutkan dengan anggota Tritunggal ke-tiga.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang ke-tiga adalah Siwa. Melanjutkan tugas Dewa Wisnu, Dewa Siwa berperan sebagai pelebur alam semesta dan mempersiapkannya untuk penciptaan kembali. Dengan tugasnya ini, siklus kehidupan pun akan dimulai kembali di tangan Dewa Brahma.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang selanjutnya adalah Ganesha. Dikenal berkepala gajah, Dewa Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan dan juga kebijaksanaan. Meski Tuhan punya konsep tak beranak dan diperanakkan, dalam panteon Hindu Dewa Ganesha adalah putra dari Dewa Siwa.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang berikutnya adalah Sri. Sering disebut oleh orang tua ketika anak-anaknya enggan menghabiskan makanan, Dewi Sri adalah seorang Dewi yang bertugas untuk mengatur pangan serta pertanian di alam semesta.

Dewa-Dewi dalam agama Hindu yang terakhir adalah Agni. Merupakan Dewa Api, Dewa Agni berperan sebagai pemimpin upacara dan juga duta untuk para Dewa. Ia dikenal sebagai Dewa Api karena tubuhnya yang digambarkan berwarna merah dan rambut yang mirip kobaran api.

Upacara pemakaman antara agama satu dengan agama yang lainnya memang berbeda, termasuk agama Hindu. Namun, agama Hindu dikenal sebagai agama yang menyerap budaya lokal dimana penganutnya berada. Bagaimana Upacara Pemakaman Agama Hindu yang dilakukan sehingga membuat tata cara pemakaman Hindu berbeda-beda.

Agar pembahasan tidak ke mana-mana, maka pembahasan kali ini akan difokuskan pada upacara pemakaman agama Hindu di Bali. Hal ini karena Hindu Bali di Indonesia menjadi mayoritas dibandingkan dengan Hindu lainnya di Indonesia.

Tata Cara Pemakaman Hindu Bali di Indonesia

Upacara Ngaben memang sifatnya wajib dalam agama Hindu Bali. Namun, rupanya upacara pembakaran jenazah ini memakan biaya ngaben yang cukup banyak, sehingga akan memberatkan jika keluarga yang ditinggalkan jenazah adalah orang yang tidak mampu.

Oleh sebab itu, di Bali ada upacara Ngaben Massal. Upacara ini dilakukan agar biaya yang dikeluarkan lebih sedikit karena dilakukan secara bersama-sama dengan keluarga jenazah yang lainnya.

Lalu, bagaimana jenazah menunggu upacara Ngaben Massal? Karena kita tahu pasti tidak semua orang meninggal secara bersamaan. Jawabannya adalah “dititipkan” terlebih dahulu, yakni dikubur terlebih dahulu sampai tiba saatnya mengikuti Ngaben Massal.

Dalam upacara Ngaben akan dilakukan beberapa rangkaian ritual, yaitu:

Kata ‘ngulapin’ yang diambil dari bahasa Jawa Kuno berasal dari kata ‘ulap’ yang artinya adalah silau. Upacara yang satu ini umumnya akan dilaksanakan jika jenazah yang meninggal adalah korban kecelakaan atau meninggal karena sebab yang tidak alamiah.

Upacara tersebut akan dilakukan di lokasi terjadinya kecelakaan tempat jenazah meninggal. Rangkaian upacara Ngaben yang satu ini memiliki makna sebagai pengembalian “Bayu” atau sesuatu yang sifatnya batin yang tertinggal pada saat kejadian tersebut berlangsung.

Singkatnya, pada saat seseorang mengalami kecelakaan dan rohnya terlepas ia akan tertinggal di tempat tersebut. Maka jika tidak dilaksanakan upacara Ngulapin ini, umat Hindu Bali percaya bahwa dikhawatirkan atma atau roh orang tersebut tidak bisa pulang atau bingung.

Seperti upacara pemakaman pada umumnya, jenazah yang sudah meninggal akan dimandikan terlebih dahulu untuk mengembalikan kesuciannya. Begitu juga dalam upacara Ngaben, sebelum jenazah dikembalikan ke Yang Kuasa maka akan terlebih dahulu dimandikan melalui ritual Nyiramin.

Ritual ini dilakukan di rumah keluarga jenazah yang telah meninggal.

Setiap daerah di Bali memiliki perbedaan pelaksanaan ritual Ngajum Kajang. Meskipun begitu prosesi ini memiliki makna yang sama, yaitu memantapkan atau mengikhlaskan hati pada kepergian mendiang yang dilakukan oleh para kerabatnya.

Setelah prosesi Ngajum Kajang dilaksanakan, selanjutnya akan dilakukan prosesi Ngaskara. Prosesi ini dilakukan oleh pendeta atau pemangku adat setempat maupun orang yang sudah diberi mandat.

Tujuan prosesi ini adalah untuk menyucikan roh agar dapat “menyatu” dengan Tuhannya. Selain itu, prosesi ini juga bermakna untuk “menuntun” anggota keluarga besar mendiang.

Prosesi Memeras dalam tata cara pemakaman Hindu ini sifatnya tidak harus, karena memang ada yang melaksanakannya ada juga yang tidak. Hal ini mungkin dikarenakan ritual ini hanya dilakukan jika mendiang telah memiliki cucu.

Umat Hindu Bali percaya bahwa jika seseorang sudah memiliki cucu itu artinya ia sudah berhasil melaksanakan kewajibannya sebagai manusia.

Dalam bahasa Jawa, kata ‘pegat’ artinya putus. Adapun upacara Pepegatan ini memiliki makna sebagai bentuk pemutusan ikatan antara mendiang dengan ikatan duniawinya semasa hidup.

Keenam rangkaian sebelumnya dilakukan di rumah keluarga mendiang. Jika rangkaian-rangkaian tersebut sudah selesai, selanjutnya akan dilaksanakan kegiatan Pakiriman Ngutang. Jenazah akan diarak menggunakan wadah bade / jenazah ke setra atau kuburan Bali.

Setelah jenazah diarak dan sampai di setra, selanjutnya akan disiapkan wadah pembakaran jenazah sebelum akhirnya dibakar di acara puncak. Dalam prosesi ini keluarga mendiang akan membawakan “bekal” pada jenazah yang dapat berupa uang, barang kesukaannya, serta barang yang diwasiatkan.

Nantinya semua barang tersebut akan dibakar bersama dengan jasad mendiang dalam upacara puncaknya.

Setelah upacara pembakaran dilaksanakan dan jenazah sudah menjadi abu, prosesi selanjutnya akan dilaksanakan upacara Nganyud. Abu kremasi atau Ngaben tersebut akan dimasukkan ke dalam Bungkak atau buah kelapa gading.

Kelapa gading yang berisi abu jenazah tersebut selanjutnya akan dihanyutkan ke sumber air yang sudah ditentukan, seperti di sungai atau laut.

Setelah prosesi pembakaran dan penghanyutan abu jenazah dilakukan, selanjutnya akan dilakukan prosesi Mekelud selama 12 hari. Prosesi ini memiliki tujuan sebagai penyucian anggota keluarga serta melepas energi negatif dari perasaan duka atas meninggalnya jenazah.

Jenis-Jenis Upacara Ngaben

Seperti yang sebagian besar orang ketahui bahwa masyarakat Bali akan melakukan upacara yang disebut Ngaben saat ada orang yang meninggal. Upacara ini menjadi simbol bahwa manusia yang sudah mati harus ‘dilepaskan’ dari ikatan duniawi.

Selain itu, upacara ini juga menjadi simbol agar keluarga yang ditinggalkan dapat menerima dan ikhlas akan kepergian mendiang. Dengan begitu, setelah upacara ini selesai tidak akan ada lagi kesedihan dan air mata keluarga maupun kerabat mendiang.

Adapun tujuan upacara Ngaben ini ada tiga, yaitu:

Sesuai dengan kebijakan adat secara turun-temurun maupun kemampuan keluarga yang ditinggalkan mendiang, upacara Ngaben memiliki jenis yang berbeda. Dalam agama Hindu masih mengenal kasta, jadi secara umum jenis Ngaben ini dibagi berdasarkan kasta tersebut.

Berikut beberapa jenis upacara Ngaben yang ada di Bali.

Upacara Ngaben Sawa Wedana dilakukan secara langsung saat jenazah masih utuh dan baru meninggal, tepatnya 3 – 7 hari setelah ia meninggal. Karena tidak melalui proses penguburan terlebih dahulu, maka jenazah akan diawetkan terlebih dahulu dan diperlakukan seperti orang yang sedang tidur.

Berbeda dengan Sawa Wedana, upacara Ngaben Asti Wedana ini melibatkan jenazah yang sudah lama meninggal, bahkan sudah berupa tulang-belulang. Oleh sebab itu upacara ini bisa diikuti jenazah yang sudah pernah dikubur.

Banyak kejadian yang membuat jenazah tidak bisa ditemukan, seperti hanyut, terbakar, meninggal di luar negeri, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, keluarga mendiang dapat melaksanakan tradisi Swasta ini yang tidak akan melibatkan jenazah secara langsung.

Jenazah akan digantikan oleh kayu cendana yang kemudian dilukis dan diisi dengan aksara yang bersifat magis.

Beda usia, beda lagi tata cara pemakaman Hindu yang dilakukan. Jika jenazah yang meninggal adalah anak yang giginya masih belum tanggal, maka dapat dilakukan dengan upacara Ngelungah.

Ibu yang mengalami keguguran saat kehamilan, maka akan dilaksanakan upacara Warak Kruron untuk janin yang meninggal.

Beberapa tata cara pemakaman Hindu di atas mungkin agak berbeda di tempat Anda, karena seperti yang telah disinggung sebelumnya, agama Hindu akan melekat erat dengan kebudayaan setempat di mana Anda tinggal.

Kamboja memberikan akan ketenangan dalam asuransi pemakaman dan berada di sisi anda di kala kedukaan itu tiba sehingga segala jasa pengurusan pemakaman menjadi lebih bagus dan memberikan dukungan emosional bagi anda dan keluarga anda.

Disclaimer: Kamboja tidak dapat menjamin kebenaran atau keakuratan data, tips maupun informasi yang tercantum di dalam artikel diatas. Mohon hubungi pihak terkait atau pun instansi yang berwenang jika anda memerlukan bantuan medis maupun administratif.

Bali adalah sebuah pulau di Indonesia yang dikenal karena memiliki pegunungan berapi yang hijau, terasering sawah yang unik, pantai, terumbu karang yang cantik serta memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap keberadaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Kebanyakan masyarakat Bali menganut agama hindu. Agama Hindu berasal dari kata Shindu dalam bahasa Sanksekerta yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya sub-benua India sampai sebagian besar alirannya terletak di wilayah Negara Pakistan yang dalam bahasa inggris di sebut Indus. Agama Hindu memiliki banyak kepercayaan terhadap Dewa seperti Dewa Brahma sebagai Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Dewa Siwa sebagai Pelebur. Selain itu umat hindu juga memiliki kepercayaan seperti animisme (kepercayaan terhadap roh nenek moyang) dan dinamisme ( percaya kepada benda yang dianggap keramat).

Dalam kitab weda, Dewa hindu memang memiliki penyebutan yang banyak, namun perlu diketahui bahwa dewa merupakan manifestasi dari tuhan. Dia berwujud, memiliki aspek, atribut, dan sifat. Pada aspek ini Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa hadir dalam berbagai manifestasi, oleh karena itu dewa juga punya nama dan sebutannya masing- masing. Tentunya hal ini menyimpang dari pemahaman politeisme.

Monoteisme adalah kepercayaan dengan adanya satu Tuhan, Sedangkan Politeisme adalah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu dewa (banyak dewa). Sedangkan Agama Hindu memiliki kepercayaan Politeisme karena Agama Hindu menyebut Tuhan dengan banyak nama atau wujud sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki umat hindu. Jika menurut penggolongannya Agama Hindu memang dikategorikan sebagai Politeisme karena mengenal banyak dewa. Selain itu terdapat spesialisasi seperti Hindu-Siwa dan lain sebagainya tergantung kedakam individu serta tempatnya. Maka dari itu Bali diberi julukan sebagai Pulau Seribu Pura.

Kepercayaan dan keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Ada banyak ajaran-ajaran dasar dalam agama hindu, diantara yang paling dasar adalah ajaran Panca Sradha. Yang terdiri dari kata Panca dan Sradha, Panca artinya lima dan Sradha artinya keyakinan dan kepercayaan. Dimana bagian dari Panca Sradha itu yaitu Brahma, Atma, KarmaPhala, Moksa, dan Punarbawa. Dalam ajaran Agama Hindu baik buruknya perbuatan manusia sering diidentifikasikan dengan konsep Rwa Bhinneda.

Seseorang mungkin percaya bahwa ada banyak tuha tetapi menerima bahwa hanya menyembah satu Tuhan yang tepat dan sah. Contohnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa disembah. Sedangkan Politeisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan (percaya pada banyak dewa) atau menyembah banyak dewa. Contohnya yaitu seperti Agama Hindu yang menyebut satu Tuhan dengan banyak nama seperti dewa Brahma, Wisnu, Siwa dan lain sebagainya. Agama hindu memiliki sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan tergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Dalam agama hindu tiap-tiap dewa memiliki kekuatan seperti Dewa Brahma sebagai Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Pemelihara dan Dewa Siwa sebagai Pelebur.

Dalam Agama Hindu Dewa dan Dewi adalah keberadaan supranatural yang menguasai unsur- unsur alam dalam kehidupan manusia. Mereka disembah, dianggap suci dan keramat serta dihormati oleh manusia. Dewa memiliki bermacam-macam wujud baik itu berupa manusia ataupun binatang yang hidup abadi. Mereka memiliki kepribadian masing-masing serta memiliki emosi dan kecerdasan layaknya manusia. Beberapa fenomena alam yang dilakukan oleh para dewa seperti petir, hujan, banjir, badai dan sebagainya ini merupakan sebuah keajaiban atau ciri khas mereka sebagai pengatur alam. Para makhluk supranatural yang menguasai unsur-unsur alam dalam kehidupan manusia yang berjenis kelamin Pria disebut "Dewa" sedangkan "Dewi" adalah sebutan untuk yang berjenis kelamin Wanita.

Agama Hindu meyakini adanya banyak dewa seperti Pura Kahyangan Tiga yang ada di Bali yang dimiliki oleh setiap desa atau pekraman. Kayangan Tiga yang saya maksud diantaranya yaitu Pertama, Pura Desa atau Pura Bale Agung merupakan pura tempat berstananya Dewa Brahma yang diyakini menciptakan alam semesta oleh agama hindu. Kedua, Pura Puseh yang merupakan tempat pemujaan Dewa Wisnu sebagi pemelihara seluruh alam semesta. Dan yang Ketiga Pura Dalem yaitu tempat berstananya atau memuja Dewa Siwa dengan wujud Dewi Durga sebagai pelebur atau praline. Maka dari itu di setiap pekraman memiliki kayangan tiga. Selain pura kayangan tiga banyak juga pura umum yang ada di Bali yang dapat kita sembah seperti Pura Uluwatu, Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Rambutsiwi serta banyak lagi pura lainya yang ada di Bali.

Jadi pada intinya Agama Hindu menganut kepercayaan Politeisme karena agama hindu meyakini adanya banyak Tuhan atau menyebut Tuhan dengan banyak nama. Dalam Politeisme berpendapat bahwa setiap benda, baik yang bermanfaat maupun tidak. Memiliki dewa tersendiri yang mereka sembah seperti Dewa Air, Udara, Sungai dan Gunung. Seluruh dewa yang telah saya sebutkan diatas disembah oleh Umat Hindu melalui berbagai macam ritual sesui dengan Desa, Kala dan Patra. agar nantinya bisa memdapatkann, kedamaian dan keyakinan masing-masing umat Hindu. Karena agama hindu mengenal banyak dewa, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa agama hindu menganut sistem monoteisme karena dalam kitab suci agama hindu Tuhan-nya hanya satu yaitu Sri Krisna yang lain hanya jelmaan tuhan. Sekarang tergantung pada kepribadian seseorang masing-masing dalam mempercayai yang ia percaya.

Agama hindu sering sekali dianggap sebagai agama politeisme karena memuja banyak dewa, namun tidaklah seperti itu. jika menurut penggolongannya agama hindu memang dikategorikan sebagai agama Politeisme karena mengenal banyak dewa. Sedangkan menurut weda tuhan memang tidak punya nama, tetapi manusia memberi nama menurut sifat-sifat yang dimilikinya. di dalam Kitab weda kita dapat mengenal 1000 nama wisnu berdasarkan sifat dan kehebatannya. Begitupula di dalam Bhagawadgita yaitu krisna dengan 27 nama dengan gelar yang berbeda. Nah hal ini merupakan gambaran bahwa betapa tuhan memiliki banyak nama, jumlah nama tuhan yang tidak terbatas tentunya. Inilah yang sering sekali membuat orang lain salah paham, seolah agama hindu memiliki banyak tuhan, Pada dasarnya banyak nama tuhan justru menunjukan bahwa weda memiliki informasi yang rinci tentang apa dan siapa tuhan itu sesungguhnya.

Pada sejatinya dalam mantra weda dijelaskan " Om Tat Ekam Eva Advityam Brahman " yang artinya tuhan dalam umat Agama Hindu hanya ada satu ( Tiada Duanya ) yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau yang sering sekali disebut dengan istilah Brahman. dan " Om Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti " yang artinya Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ) Hanya ada satu, tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur segala hal yang ada di jagat raya ini, sehingga umat agama hindu memberikan banyak nama terhadap masing-masing fungsinya.

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Agama Hindu sering dituduh miring sebagai agama politeisme, hal tersebut terjadi dikarenakan banyaknya nama Dewa dalam Agama Hindu.  Banyak orang yang menganggap bahwa banyaknya Dewa tersebut diartikan bahwa Agama Hindu menyembah banyak Tuhan, bahkan banyak juga yang beranggapan bahwa AgamaHindu Menyembah Patung. Dilihat dari pemahaman pemahaman ketuhanan dalam perspektif Hindu dinamai Brahman Vidya  yaitu pengetahuan tentang ketuhanan dalam Agama Hindu. Agama Hindu sering dianggap sebagai agama politeisme karena memuja banyak Dewa, namum sebenarnya tidaklah sepenuhnya benar. Karena menurut Umat Hindu Tuhan itu Maha Esa Tiada duanya, dan hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada, yang manifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam Agama Hindu Tuhan menjelma banyak wujud. Konsep satu Tuhan dalam banyak perwujudan berfungsi untuk memudahkan kita dalam memahami Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita merujuk pada banyaknya nama-nama dewa dalam Agama Hindu, tidak heran jika banyak umat lain yang beranggapan bahwa agama hindu mempunyai sistem ketuhanan politeisme, dikarenakan setiap agama memiliki cara untuk menarik para pengikut agama tersebut, dimana setiap agama memiliki teknik dan juga cara masing-masing, dari hal tersebutlah yang menimbulkan penafsiran yang salah terhadap agama lain salah satunya agama yang ditafsirkan oleh orang yang bukan penganutnya yaitu Agama Hindu, yang merupakan agama tertua di Indonesia.

Dalam sejarah, kepercayaan Umat Manusia tercatat beberapa perkembangan sistem kepercayaan kepada hal gaib, yaitu:1. Dinamisme merupakan kepercayaan adanya kekuatan yang terdapat pada barang, baik yang hidup (manusia, tumbuhan,binatang) maupun yang mati.

2. Animisme merupakan paham sebuah benda, baik bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh atau jiwa. Politeisme merupakan kepercayaan bahwa ada banyak tuhan.Tuhan yang banyak digambarkan sebagai beragam dewa-dewa,roh dan makhluk gaib lainnya. tujua beragam dalam politeisme bukan hanya menyembah dewa-dewa, akan tetapi juga menyembah dan berdoa kepadanya untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.3. Henoteisme merupakan kepercayaan yang tidak menyangkal adanya tuhan banyak, tetapi hanya mengakui tuhan tunggal sebagai tuhan yang disembah. Henoteisme dipahami sebuah tahap keagamaan yang berada diantara politeisme ke monoteisme.4.  Monoteisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pada satu tuhan. istilah monoteisme sering dipakai dalam pertentangannya dengan politeisme (penyembahan banyak dewa)

Dalam realita hidup beragama Hindu pada umumnya sesungguhnya telah memiliki istilah yang sering dijadikan kajian oleh umat hindu maupun para intelektual Hindu, seperti kata Dewa, Dewi, Bhatara, Bhatari, sasuhunan, Ida Bhatara, Ida Bhatari dan istilah lainnya dalam konteks ketuhanan dalam Agama Hindu. Yang berarti Agama Hindu memiliki banyak sebutan, namun sesuai ajaran agama Hindu bahwa tuhan itu selalu esa/tunggal dan tidak ada Tuhan yang kedua. Tuhan adalah Esa, maha kuasa dan maha ada dan menjadi sumber dan segala yang ada. Tuhan adalah maha esa, maha tunggal tidak ada duanya atau bandingannya. Tuhan maha besar dan tidak terbatas, seluruh alam raya ini adalah ciptaan tuhan. oleh sebab itu Sang Hyang Widhi yang tunggal menjadi Tuhannya seluruh alam, matahari, tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan lain-lain adalah tuhannya semua sama manusia di Dunia. Di dalam kitab-kitab filsafat kerohanian Hindu banyak tercantum renungan-renungan mengenai ke-Esa-an Tuhan yaitu, "Ekam ewa adwityam Brahma" yang artinya tuhan itu hanya satu tidak ada yang kedua.

Jadi terkait pertanyaan: Agama Hindu Memuja Banyak Dewa, Apakah sebutan tersebut Hindu termasuk Agama Politeisme?jawabannya tentu saja Tidak, Karena dalam konsep ketuhanan dalam Agama Hindu yang disebut dengan Brahman Vidya disebutkan bahwa Agama Hindu merupakan Agama yang Monoteisme (hanya memuja pada satu tuhan). Akan tetapi dalam menjalankan fungsinya tuhan dalam Agama Hindu atau biasa disebut dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bermanifestasi menjadi Dewa yang disebut dengan berbagai nama seperti misalnya: ketika beliau pencipta disebut sebagai Dewa Brahma, ketika sebagai memelihara disebut dengan Dewa Wisnu dan ketika sebagai pelebur disebut dengan Dewa Siwa. Penyebutan nama-nama dewa tersebutlah yang menyebutkan bahwa Agama Hindu terkesan sebagai Agama Politeisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Agama Hindu di bali ialah hindu bali (bahasa indonesia: Agama Hindu Dharma; Agama Tirtha; Agama Air Suci; Agama Hindu Bali) ialah bentuk agama Hindu yang diamalkan oleh majoriti penduduk Bali. Ini terutamanya dikaitkan dengan orang Bali yang tinggal di pulau itu, dan mewakili bentuk penyembahan Hindu yang berbeza yang menggabungkan animisme tempatan, penyembahan nenek moyang atau Pitru Paksha, dan penghormatan kepada orang suci Buddha atau Bodhisattva.

Penduduk pulau-pulau Indonesia kebanyakannya beragama Islam (86%).Pulau Bali adalah pengecualian di mana kira-kira 87% penduduknya mengenal pasti sebagai Hindu (kira-kira 1.7% daripada jumlah penduduk Indonesia).

UUD 1945 menjamin kebebasan beragama kepada semua warganegara.Pada tahun 1952, kata Michel Picard, seorang ahli antropologi dan sarjana sejarah dan agama Bali, Kementerian Hal Ehwal Ugama Indonesia berada di bawah kawalan konservatif yang sangat mengekang definisi yang boleh diterima tentang "agama".Untuk diterima sebagai agama rasmi Indonesia, kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama monoteistik, telah mengkodifikasikan undang-undang agama dan menambah beberapa syarat.

Selanjutnya, Indonesia menafikan hak kerakyatan (seperti hak untuk mengundi) kepada sesiapa yang bukan menganut agama monoteistik yang diiktiraf secara rasmi. Minoriti Hindu Bali menyesuaikan dan mengisytiharkan bentuk Hinduisme mereka sebagai monoteistik, dan membentangkannya dalam bentuk yang layak secara politik untuk status agama. Oleh yang demikian, Hindu Bali telah diiktiraf secara rasmi oleh kerajaan Indonesia sebagai salah satu agama rasmi yang diamalkan di Bali.

Pengaruh Hindu sampai ke Kepulauan Indonesia seawal abad pertama Masihi.Bukti sejarah tidak jelas tentang proses penyebaran idea budaya dan rohani dari India. Legenda Jawa merujuk kepada zaman Saka, dikesan ke 78 CE. Kisah-kisah dari Mahabharata telah dikesan di pulau-pulau Indonesia hingga abad ke-1, yang versinya mencerminkan yang terdapat di Tamil Nadu.

Begitu juga, Chandis purba (kuil) yang digali di pulau Jawa dan barat Indonesia, serta prasasti purba seperti prasasti Canggal abad ke-8 yang ditemui di Indonesia, mengesahkan penggunaan meluas ikonografi Shiva lingam, dewi pendampingnya Parvati, Ganesha, Vishnu, Brahma , Arjuna, dan dewa-dewa Hindu yang lain pada kira-kira pertengahan hingga akhir milenium pertama CE. Rekod Cina kuno tentang Fa Hien semasa pelayarannya kembali dari Ceylon ke China pada 414 CE menyebut dua aliran Hindu di Jawa,manakala dokumen Cina dari abad ke-8 merujuk kepada kerajaan Hindu Raja Sanjaya sebagai Holing, memanggilnya "sangat melampau. kaya," dan mengatakan bahawa ia hidup bersama secara aman dengan orang Buddha dan pemerintah Sailendra di Dataran Kedu di pulau Jawa.

Empat Kesultanan Islam yang pelbagai muncul di utara Sumatera (Aceh), selatan Sumatera, barat dan tengah Jawa, dan selatan Borneo (Kalimantan) menjalankan dakwah dan ramai yang menerima Islam.

Dalam kes lain, penganut Hindu dan Buddha meninggalkan dan menumpukan sebagai komuniti di pulau-pulau yang boleh mereka pertahankan. Hindu di Jawa barat bergerak ke timur dan kemudian ke pulau Bali dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, dengan itu memulakan Hindu Bali.Semasa era konflik agama dan peperangan antara Kesultanan sedang berlangsung, dan pusat kuasa baru cuba untuk menyatukan wilayah di bawah kawalan mereka, penjajah Eropah tiba.Kepulauan Indonesia tidak lama kemudian dikuasai oleh empayar kolonial Belanda.

Empayar kolonial Belanda membantu mencegah konflik antara agama, dan secara perlahan-lahan memulakan proses penggalian, pemahaman dan pemuliharaan asas budaya Hindu-Buddha Indonesia purba, khususnya di Jawa dan kepulauan barat Indonesia.

Selepas merdeka daripada penjajahan Belanda, Perkara 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama kepada semua warganegaranya. Pada tahun 1952, Michel Picard menyatakan, Kementerian Agama Indonesia berada di bawah kawalan Islamis yang sangat mengekang definisi yang boleh diterima tentang "agama". Untuk diterima sebagai agama rasmi Indonesia, kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama monoteistik, mempunyai undang-undang agama, memiliki nabi dan Kitab Suci, antara keperluan lain. Hindu Bali telah diisytiharkan sebagai "orang tanpa agama", dan tersedia untuk ditukar. Hindu Bali tidak bersetuju, berdebat, menyesuaikan, dan mengisytiharkan bentuk Hinduisme mereka sebagai monoteistik, dan mengemukakannya dalam bentuk yang layak untuk status "agama" di bawah artikel yang dipinda 1952.

Untuk mencapai matlamat ini, Hindu Bali telah memulakan satu siri inisiatif pertukaran pelajar dan budaya antara bali dan india untuk membantu merumuskan prinsip teras di sebalik Hinduisme Bali (catur veda, upanishad, puranas, itihasa). khususnya, gerakan politik penentuan nasib sendiri di bali pada pertengahan 1950-an membawa kepada petisyen bersama 1958 yang menuntut kerajaan indonesia mengiktiraf hindu dharma.petisyen bersama ini memetik mantra sanskrit berikut dari kitab suci hindu:

fokus petisyen kepada "yang tidak berbelah bahagi" adalah untuk memenuhi keperluan perlembagaan bahawa warganegara Indonesia mempunyai kepercayaan monoteistik kepada satu tuhan. pempetisyen mengenal pasti ida sanghyang widhi wasa sebagai yang tidak berbelah bahagi. dalam bahasa bali, istilah ini mempunyai dua makna: "penguasa Ilahi Alam Semesta" dan "Undang-undang Kosmik Mutlak Ilahi". Frasa kreatif ini memenuhi syarat monoteistik Kementerian Agama Indonesia dalam pengertian dahulu, manakala pengertian terakhir maknanya mengekalkan idea-idea pusat dharma dalam skrip kuno Hindu.

Bali menjadi satu-satunya bahagian Indonesia yang kekal dengan majoriti Hindu

Hindu Bali merupakan gabungan agama Hindu dan adat animisme pribumi yang wujud di kepulauan Indonesia sebelum kedatangan agama Hindu.

Ia mengintegrasikan banyak kepercayaan teras agama Hindu dengan seni dan ritual orang Bali. Pada zaman kontemporari, agama Hindu di Bali secara rasmi disebut oleh Kementerian Agama Indonesia sebagai Agama Hindu Dharma, tetapi secara tradisinya agama ini dipanggil dengan banyak nama seperti Tirta, Trimurti, Hindu, Agama Tirta, Siwa, Buda, dan Siwa-Buda.

Istilah Tirta dan Trimurti berasal dari Hinduisme India, yang sepadan dengan Tirtha (ziarah ke kerohanian berhampiran perairan suci) dan Trimurti (Brahma, Vishnu, dan Shiva) masing-masing. Seperti di India, agama Hindu di Bali berkembang dengan fleksibiliti, menampilkan cara hidup yang pelbagai. Ia merangkumi banyak idea kerohanian India, menghargai legenda dan kepercayaan Purana India dan Epik Hindu, dan menyatakan tradisinya melalui set perayaan dan adat yang unik yang dikaitkan dengan pelbagai hyang - roh tempatan dan nenek moyang, serta bentuk korban haiwan yang tidak biasa di India.

(left), the Divine Oneness and supreme god of Balinese Hinduism. Acintya is a part of temples, home shrines and ceremonies, remembered with a colourfully decorated stone seat,

Kepercayaan dan amalan umum Agama Hindu Dharma seperti yang diamalkan di Bali adalah campuran tradisi kuno dan tekanan kontemporari yang diletakkan oleh undang-undang Indonesia yang membenarkan hanya kepercayaan monoteis di bawah ideologi kebangsaan panca sila.

Secara tradisinya, pagama Hindu di Indonesia mempunyai jajaran dewa dan tradisi kepercayaan itu berterusan dalam amalan; seterusnya, agama Hindu di Indonesia memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada penganut Hindu tentang bila, bagaimana dan di mana untuk berdoa.Walau bagaimanapun, secara rasmi, kerajaan Indonesia menganggap dan mengiklankan Hindu Indonesia sebagai agama monoteistik dengan kepercayaan tertentu yang diiktiraf secara rasmi yang mematuhi ideologi kebangsaannya.

Buku teks sekolah Indonesia menggambarkan Hinduisme sebagai mempunyai satu makhluk tertinggi, Hindu menawarkan tiga sembahyang wajib setiap hari, dan Hindu sebagai mempunyai kepercayaan umum tertentu yang sebahagiannya selari dengan Islam.Pertikaian ulama sama ada kerajaan Indonesia ini mengiktiraf dan menugaskan kepercayaan untuk mencerminkan kepercayaan dan amalan Hindu tradisional Bali sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan daripada penjajahan Belanda.

beberapa kepercayaan hindu yang diiktiraf secara rasmi oleh kementerian agama indonesia termasuklah:

Teks-teks suci yang terdapat dalam Agama Hindu Dharma ialah Veda dan Upanishad.Mereka adalah asas agama Hindu India dan Bali. Sumber maklumat agama lain termasuk Purana Hindu Universal dan Itihasa (terutamanya Ramayana dan Mahabharata). Epik Mahabharata dan Ramayana menjadi tradisi abadi di kalangan penganut Indonesia, diekspresikan dalam wayang kulit (wayang) dan persembahan tarian. Seperti di India, Hinduisme Indonesia mengiktiraf empat jalan kerohanian, memanggilnya Catur Marga.Ini adalah bhakti mārga (jalan pengabdian kepada dewa), jnana mārga (jalan pengetahuan), karma mārga (jalan pekerjaan) dan raja mārga (jalan meditasi). Bhakti Marga mempunyai pengikut terbesar di Bali.

Begitu juga, seperti Hindu di India, Hindu Bali percaya bahawa terdapat empat matlamat hidup manusia yang betul, memanggilnya Catur Purusartha - dharma (mengejar kehidupan bermoral dan beretika), artha (mencari kekayaan dan aktiviti kreatif), kama (the mengejar kegembiraan dan cinta) dan moksha (mencari pengetahuan diri dan pembebasan).

Some of many Hindu gods and goddesses of Balinese Hinduism: Ganesha (left), Wisnu on Garuda (right).

Hindu bali merangkumi konsep triniti India yang dipanggil trimurti yang terdiri daripada:

Dalam teks Hindu Bali, konsep tripartit alternatif Shiva dari Shaivisme India juga ditemui. Ini biasanya disebut dalam bahasa Bali sebagai "Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa", di mana Shiva adalah pencipta, pemelihara dan pemusnah kewujudan kitaran.

Bersama-sama dengan triniti Hindu tradisional, Hindu Bali menyembah pelbagai tuhan dan dewi (Hyang, Dewata dan Batara-Batari), serta lain-lain yang unik dan tidak terdapat dalam Hinduisme India. Sang Hyang Widhi secara literal bermaksud "Tatanan Ilahi",juga dikenali sebagai Acintya ("Tidak Dapat Dibayangkan")atau Sang Hyang Tunggal ("Keesaan Ilahi"),adalah konsep dalam tradisi Hindu Bali yang selari dengan konsep metafizik Brahman dalam kalangan penganut Hindu India. Upacara termasuk kerusi tinggi yang kosong. Ia juga terdapat di bahagian atas kuil Padmasana di luar rumah dan kuil. Ini untuk Sang Hyang Widhi Wasa.

Idea aksiologi Hindu Bali selari dengan idea Hindu India. Walau bagaimanapun, menyatakan Martin Ramstedt - seorang sarjana Hindu di Asia Tenggara, mereka diistilahkan agak berbeza dan diteruskan dari satu generasi ke generasi seterusnya sebagai sebuah komuniti dan pada upacara kerohanian. Tidak seperti sekolah Islam di Indonesia dan Hindu Ashram di India, dan berdasarkan perwakilan rasmi Hindu Bali, ajaran dan nilai tradisional diperoleh di rumah, ritual, dan simbol agama.

Sebagai contoh, perlambangan yang berkaitan dengan percikan "tirtha", atau air suci yang menghubungkan material dan spiritual, air ini mula-mula dipercikkan di atas kepala dan difahami sebagai "penyucian manah (akal)", kemudian diteguk untuk difahami sebagai. "penyucian wak (pertuturan)", dan kemudian ditaburkan ke atas badan yang melambangkan "penyucian kaya (sikap dan tingkah laku)". Dengan demikian, kata Ngurah Nala, generasi muda menjadi “terbiasa dengan nilai-nilai etika yang terkandung dalam konsep Tri Kaya Parisudha, atau pencapaian pikiran yang murni atau baik (manacika), ucapan yang murni atau baik (wacika), dan perilaku yang murni (kayika)".

Terdapat sejumlah tiga belas upacara yang berkaitan dengan kehidupan dari pembuahan sehingga, tetapi tidak termasuk, kematian, yang masing-masing mempunyai empat elemen: penenang roh jahat, penyucian dengan air suci, penyaluran intipati, dan doa. Upacara ini menandakan peristiwa besar dalam kehidupan seseorang, termasuk kelahiran, akil baligh, pemberian makanan bijirin, dan perkahwinan.

Bayi yang baru lahir dipercayai mewakili jiwa moyang dan dianggap sebagai tuhan untuk 42 hari pertama kehidupannya. Bagaimanapun, ibu dianggap tidak suci dan tidak dibenarkan menyertai sebarang aktiviti keagamaan dalam tempoh ini. Seorang bayi tidak boleh menyentuh tanah yang tidak suci sehingga berumur 105 hari, separuh jalan ke perayaan ulang tahun pertamanya mengikut kalendar Pawukon Bali 210 hari. Apabila kanak-kanak itu mencapai akil baligh, enam gigi taring atas difailkan sehingga mereka genap.

Upacara yang paling penting berlaku selepas kematian dan mengakibatkan jiwa dibebaskan untuk akhirnya dijelmakan semula. Tidak seperti upacara kematian agama-agama lain, badan fizikal tidak menjadi tumpuan, kerana ia dilihat tidak lebih daripada bekas sementara jiwa dan hanya sesuai untuk pelupusan yang sewajarnya. Malah, jasad mesti dibakar sebelum roh boleh meninggalkannya sepenuhnya. Upacara pembakaran mayat untuk melakukan ini boleh menjadi sangat mahal kerana upacara yang rumit adalah cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada jiwa yang ditakdirkan untuk menjadi tuhan dengan kuasa yang besar ke atas mereka yang ditinggalkan. Oleh itu, mayat kadangkala dikebumikan buat sementara waktu sehingga keluarga dapat mengumpul dana yang mencukupi untuk pembakaran mayat, walaupun mayat imam atau keluarga kelas tinggi dipelihara di atas tanah.

Perayaan yang paling penting ialah Galungan (berkaitan dengan Deepavali), perayaan kemenangan dharma ke atas adharma. Ia dikira mengikut kalendar Pawukon Bali 210 hari dan berlaku pada hari Rabu (Buda) minggu kesebelas (Dunggulan). Menurut tradisi, roh orang mati turun dari Syurga, untuk kembali sepuluh hari kemudian di Kuningan.

Nyepi, atau Hari Hening, menjadikan permulaan tahun Saka Bali dan ditandai pada hari pertama bulan ke-10, Kedasa. Ia biasanya jatuh pada bulan Mac.

Watugunung, hari terakhir kalendar Pawukon, dikhaskan untuk Saraswati, dewi pembelajaran. Walaupun ia dikhaskan untuk buku, membaca tidak dibenarkan. Hari keempat dalam setahun dipanggil Pagerwesi, yang bermaksud "pagar besi". Ia memperingati pertempuran antara kebaikan dan kejahatan.

struktur kasta bali telah diterangkan dalam kesusasteraan eropah awal abad ke-20 berdasarkan tiga kategori - triwangsa (tiga kelas) atau bangsawan, dwijati (lahir dua kali) berbeza dengan ekajati (pernah dilahirkan) orang biasa. empat status telah dikenal pasti dalam kajian sosiologi ini, dieja sedikit berbeza daripada kategori kasta untuk india:

kasta brahmana telah dibahagikan lagi oleh ahli etnografi Belanda ini kepada dua: Siwa dan Buda. Kasta Siwa terbahagi kepada lima - Kemenuh, Keniten, Mas, Manuba, dan Petapan. Klasifikasi ini adalah untuk menampung perkahwinan yang diperhatikan antara lelaki Brahmana kasta tinggi dengan wanita kasta rendah. Kasta-kasta lain juga turut diklasifikasikan lebih lanjut oleh ahli etnografi abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini berdasarkan pelbagai kriteria yang terdiri daripada profesion, endogami atau eksogami atau poligami, dan pelbagai faktor lain dengan cara yang serupa dengan kasta di jajahan Sepanyol. seperti Mexico, dan kajian sistem kasta di tanah jajahan British seperti India.

Bali mempunyai sistem kasta yang serupa dengan sistem India dalam bentuk purbanya. Di India purba, kasta dipanggil varna, bermaksud pewarnaan jiwa neutral atau lutsinar atau kecenderungan jiwa untuk berkelakuan mengikut kecenderungan tertentu berdasarkan sifat semula jadinya. Berdasarkan kecenderungan ini orang memilih profesion mereka. Kemudian proses melalui hakisan ini menjadi sistem berasaskan keturunan/kelahiran. Sistem yang sama ini telah diterima pakai di Bali dan ia dipanggil 'Wangsa' yang berkaitan dengan profesion nenek moyang. Walau bagaimanapun, di Bali hari ini, tanpa mengira profesion individu, mereka mengaku milik wangsa keluarga mereka. Terdapat empat wangsa atau profesion asas, yang dikenali secara kolektif sebagai caturwangsa—semua orang Bali tergolong dalam kumpulan ini. Tiga wangsa teratas ialah Brahmana, Satria (atau Ksatriya) dan Wesia (atau Wesya), mewakili golongan bangsawan, dan dikenali sebagai triwangsa. Wangsa keempat dan paling biasa ialah Sudra.

Kumpulan wangsa ini dibahagikan, dan masing-masing mempunyai nama tertentu yang dikaitkan dengannya. Para guru dan pendeta, Brahmana, mempunyai lima subdivisi, dan dikatakan berasal dari satu individu. Lelaki dan wanita mempunyai Ida sebagai nama pertama mereka. Ksatriya adalah pemerintah dan pahlawan tradisional. Nama tipikal wangsa ini ialah "Dewa Agung", "Anak Agung" dan "I Dewa". Wesia, yang kebanyakannya dipanggil Gusti, dianggap sebagai pedagang dari pelbagai jenis. Wangsa yang paling biasa di Bali dari segi bilangan ialah Sudra kerana 90% penganut Hindu Bali tergolong di dalamnya; mereka membentuk rakyat jelata sebagai petani dan lain-lain. Pandes atau Tukang Besi mempunyai 'klan' istimewa yang tidak disebut dalam kumpulan Catur Wangsa tetapi dianggap penting terutamanya kerana kerja mahirnya dan menjadi tukang besi api, Dewa Agni atau Dewa Brahma.

Dalam keadaan apa pun, orang Hindu Bali tidak boleh memakan daging manusia, kucing, monyet, anjing, buaya, tikus, ular, katak, ikan berbisa tertentu, lintah, serangga penyengat, gagak, helang, burung hantu, atau mana-mana burung pemangsa yang lain.

Ayam, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan laut digunakan secara meluas. Penganut Hindu, terutamanya mereka yang tergolong dalam varna (kasta) Brahmin dan Kshatriya, dilarang memakan atau menyentuh daging lembu dan jarang menyentuh daging babi; selain itu, mereka tidak boleh makan di jalan atau pasar, minum alkohol, atau merasai persembahan barangan tersebut.